"Ketika banyak yang ingin melupakan kerusuhan 1998."
Sejumlah orang terlihat bergelimpangan di lantai rumah Munir Said Thalib di Kota Batu, Jawa Timur. Tubuh mereka dibalut kain putih yang membelit serupa mumi.
Di dalam rumah yang kini menjadi Omah Munir, mereka hanya tidur telentang dengan diam meski mata mereka terbuka.
“Mereka sadar tetapi diam. Mereka tahu berbagai pelanggaran kemanusiaan di sekitar mereka tetapi memilih diam,” kata Yaya Sung, satu dari dua seniman yang berpartisipasi dalam Pameran 49-39=10th Menolak Diam di Kota Batu, Sabtu 13 Desember 2014.
Bersama fotografer Antara, Fanny Octavianus, karya mereka yang digelar untuk memperingati Hari HAM Internasional juga telah melewati proses kurasi oleh Seno Gumira Adjidarma. Rencananya, pameran yang terbuka untuk umum itu akan berlangsung hingga 30 Desember 2014.
Bagi Yaya, seniman berusia 28 tahun, ketertarikannya dengan tragedi kemanusiaan muncul dari pengalamannya sendiri yang lahir dari keluarga keturunan Tionghoa. Dia menyaksikan dan mengalami tragedi yang banyak menimpa warga keturunan Tionghoa di Jakarta pada 1998.
“Saat kerusuhan 1998, saya masih berusia 12 tahun. Oma saya rumahnya terbakar di pecinan, Glodok. Saya pernah merasakan diskriminasi sosial, karena lahir sebagai keturunan Tionghoa,” katanya.
Orang-orang tersebut, terus tidur telentang tanpa bergerak beberapa saat. Mereka tersebar di dalam rumah, di dekat meja kerja Munir, bahkan di dalam kamar Munir, yang kini berubah menjadi ruang publik bernama Omah Munir di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu.
Aksi teatrikal berjudul Semua Sadar Semua Diam, menurutnya, banyak terinspirasi sikap kebanyakan orang di lingkungannya yang memilih untuk melupakan tragedi kerusuhan 1998 dengan berbagai alasan.
“Mereka sadar tetapi diam. Mereka tahu berbagai pelanggaran kemanusiaan di sekitar mereka tetapi memilih diam,” kata Yaya Sung, satu dari dua seniman yang berpartisipasi dalam Pameran 49-39=10th Menolak Diam di Kota Batu, Sabtu 13 Desember 2014.
Bersama fotografer Antara, Fanny Octavianus, karya mereka yang digelar untuk memperingati Hari HAM Internasional juga telah melewati proses kurasi oleh Seno Gumira Adjidarma. Rencananya, pameran yang terbuka untuk umum itu akan berlangsung hingga 30 Desember 2014.
Bagi Yaya, seniman berusia 28 tahun, ketertarikannya dengan tragedi kemanusiaan muncul dari pengalamannya sendiri yang lahir dari keluarga keturunan Tionghoa. Dia menyaksikan dan mengalami tragedi yang banyak menimpa warga keturunan Tionghoa di Jakarta pada 1998.
“Saat kerusuhan 1998, saya masih berusia 12 tahun. Oma saya rumahnya terbakar di pecinan, Glodok. Saya pernah merasakan diskriminasi sosial, karena lahir sebagai keturunan Tionghoa,” katanya.
Orang-orang tersebut, terus tidur telentang tanpa bergerak beberapa saat. Mereka tersebar di dalam rumah, di dekat meja kerja Munir, bahkan di dalam kamar Munir, yang kini berubah menjadi ruang publik bernama Omah Munir di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu.
Aksi teatrikal berjudul Semua Sadar Semua Diam, menurutnya, banyak terinspirasi sikap kebanyakan orang di lingkungannya yang memilih untuk melupakan tragedi kerusuhan 1998 dengan berbagai alasan.
Mulai dari trauman, takut, enggan hingga upaya untuk melupakan dosa yang lalu. “Mereka sadar, mereka tahu tentang kejahatan kemanusiaan, tetapi mereka memilih diam, tak berbuat apa pun,” katanya.
Sementara itu, di sudut lain Omah Munir terdapat layar televisi datar yang menyala, tanpa gambar. Layarnya menampilkan ribuan titik hitam serupa semut, seolah televisi sedang mencari saluran yang tepat. Suaranya terdengar jernih. Ada teriakan, tangisan dan riuh keributan terdengar, berulang-ulang dan selalu terputus, tak pernah terdengara tuntas. Perangkat dengan media audio visual itu berjudul 00:02:07.
“Itu adalah rekaman berbagai peristiwa tragedi kemanusiaan di Jakarta dan daerah lain di Indonesia, mulai kerusuhan 1998, kerusuhan Semanggi sampai aksi Kamisan di depan Istana Negara,“ katanya.
Tampilan televisi itu terus menampilkan titik-titik hitam, sedangkan suara televisi memperdengarkan aneka tuntutan, tangisan, potongan berita hingga nyanyian para pengunjuk rasa yang timbul dan tenggelam, terdistorsi dan tak pernah tuntas.
Inspirasi dari Tragedi 1998
Di ujung rekaman berdurasi dua menit terdengar kata masih hilang yang terus berulang. “Butuh upaya untuk fokus dan mendengar ke rekaman tanpa terpecah dengan visualisasi televisi. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi dengan korban yang hilang dan tak pernah tuntas terselesaikan,” kata penyuka fotografi ini.
Di sudut lain tersebar 47 foto mini berukuran 1,5 centimeter tertempel di dinding Omah Munir. Foto-foto yang diambil pada 2013 itu mengisahkan tentang keseharian keluarga Suciwati dan dua buah hatinya di Batu, dari balik lensa kamera Yaya Sung. Karya yang diambil di 2013 itu didapatnya, setelah tinggal selama tiga hari bersama keluarga Suciwati di Kota Batu.
Alumnus jurusan Desain Grafis dan Komunikasi Visual UPH Karawaci itu sengaja menyempatkan tinggal di Batu untuk mengenal lebih dekat penggagas aksi Kamisan itu. “Awalnya saya tidak kenal Suciwati, tapi sosok Munir Said Thalib dan perjuangannya mendorong saya untuk riset lebih dalam dengan keluarganya tahun 2013,” katanya.
Deret foto mini itu oleh Yaya Sung diberi judul Jalan Sepi. Seperti Suciwati dan Munir, jalan sepi bermakna jalan hidup yang tak banyak dipilih keluarga lain di dunia. “Saya mengajak pengunjung lebih dekat dengan kehidupan personal mereka lewat kaca pembesar,” ujarnya.
Korban diskriminasi etnis
Tepat di seberangnya, ada banyak merchandise yang mengingatkan tentang aksi Kamisan, Munir Said Thalib dan sejumlah aktivis kemanusiaan yang raib hingga kini. Ada kaos, topi, gelas dan berderet foto aksi Kamisan yang berlangsung sejak tahun 2007 hingga kini di depan Istana Negara. “Ini adalah miniatur memorial, sebuah museum yang seharusnya mendapat persetujuan dan didukung oleh Pemerintah, seperti lubang buaya, misalnya,” katanya.
Namun, nyatanya tak pernah ada kehadiran pemerintah dalam museum orang hilang. Kehadiran pemerintah, bahkan belum ada untuk mendukung pengusutan tuntas berbagai kasus kemanusiaan di Indonesia. “Ini seperti ironi, sebuah tiruan museum tanpa kehadiran pemerintah,” katanya.
Pameran serupa telah berlangsung di Jepang dalam Koganecho Bazaar, Agustus 2014, dengan judul Memorial Kamis Payung Hitam.
Wanita yang lahir dari keturunan Tionghoa itu mengaku banyak terinsipirasi dengan aksi Kamisan. Setiap hari Kamis, aktivis tak kenal lelah dan sukarela berdiri di depan Istana Negara menyuarakan berbagai kekejian kemanusiaan yang belum berujung. Sedangkan kerusuhan 1998 semakin terlupakan tanpa pernah diketahui siapa pelakunya.
“Aksi ini menjawab banyak pertanyaan saya, ketika saya pernah merasakan diskriminasi karena ras di Jakarta di suatu saat yang lalu, tapi merasa terasing ketika berada di negara China. Ketika banyak yang ingin melupakan kerusuhan 1998, karena berbagai alasan,” katanya.
Semua pemikirannya tentang suara dan harapan yang tidak terdengar itu terwujud dalam lima karya seni instalasi yang dipamerkan di Omah Munir hingga 30 Desember nanti. Karya tersebut, antara lain, Memorial Kamis Payung Hitam, Jalan Sepi terdiri dari 47 foto mini kehidupan pribadi keluarga Munir, aksi tetarikal berjudul Semua Sadar Semua Diam yang berlangsung satu hari saja pada 9 Desember, media audio visual berjudul 00:02:07 dan area partisipatif meniup balon berjudul Saya Meminjam, Mereka Berbagi, Sebuah Bentuk Jawab.
Pameran pertama di Omah Munir
Pameran yang juga diikuti fotografer Antara, Fanny Octavianus di Omah Munir adalah pameran pertama di ruang publik, bekas rumah Munir Said Thalib, yang baru berusia satu tahun itu. Karya dua seniman itu telah melewati masa kurasi oleh Seno Gumira Ajidarma selama satu bulan terakhir.
Menurut Seno, kesenian fotografi dan instalasi milik dua seniman bisa bergabung menjadi satu di Omah Munir lantaran dilandasi semangat yang sama meski dalam bentuk yang berbeda. “Pameran ini adalah ruang tempat keduanya bertemu dan terhubung dengan satu gerakan. Menjadi hak penonton sepenuhnya untuk menilai,” katanya.
Yaya Sung berharap, pameran pertama di Omah Munir itu bisa berlanjut setiap tahun di tempat yang sama. Pameran itu bisa menjadi wadah ekspresi sekaligus pertukaran informasi antara aktivis dan seniman yang fokus pada isu kemanusiaan.
“Saya bukan aktivis yang bisa berteriak nyaring di lapangan. Saya hanya bisa menyuarakan aspirasi saya lewat seni. Pameran ini bisa mewadahi kami berbagi informasi dengan aktivis kemanusiaan lain,” katanya.
Sementara itu, di sudut lain Omah Munir terdapat layar televisi datar yang menyala, tanpa gambar. Layarnya menampilkan ribuan titik hitam serupa semut, seolah televisi sedang mencari saluran yang tepat. Suaranya terdengar jernih. Ada teriakan, tangisan dan riuh keributan terdengar, berulang-ulang dan selalu terputus, tak pernah terdengara tuntas. Perangkat dengan media audio visual itu berjudul 00:02:07.
“Itu adalah rekaman berbagai peristiwa tragedi kemanusiaan di Jakarta dan daerah lain di Indonesia, mulai kerusuhan 1998, kerusuhan Semanggi sampai aksi Kamisan di depan Istana Negara,“ katanya.
Tampilan televisi itu terus menampilkan titik-titik hitam, sedangkan suara televisi memperdengarkan aneka tuntutan, tangisan, potongan berita hingga nyanyian para pengunjuk rasa yang timbul dan tenggelam, terdistorsi dan tak pernah tuntas.
Inspirasi dari Tragedi 1998
Di ujung rekaman berdurasi dua menit terdengar kata masih hilang yang terus berulang. “Butuh upaya untuk fokus dan mendengar ke rekaman tanpa terpecah dengan visualisasi televisi. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi dengan korban yang hilang dan tak pernah tuntas terselesaikan,” kata penyuka fotografi ini.
Di sudut lain tersebar 47 foto mini berukuran 1,5 centimeter tertempel di dinding Omah Munir. Foto-foto yang diambil pada 2013 itu mengisahkan tentang keseharian keluarga Suciwati dan dua buah hatinya di Batu, dari balik lensa kamera Yaya Sung. Karya yang diambil di 2013 itu didapatnya, setelah tinggal selama tiga hari bersama keluarga Suciwati di Kota Batu.
Alumnus jurusan Desain Grafis dan Komunikasi Visual UPH Karawaci itu sengaja menyempatkan tinggal di Batu untuk mengenal lebih dekat penggagas aksi Kamisan itu. “Awalnya saya tidak kenal Suciwati, tapi sosok Munir Said Thalib dan perjuangannya mendorong saya untuk riset lebih dalam dengan keluarganya tahun 2013,” katanya.
Deret foto mini itu oleh Yaya Sung diberi judul Jalan Sepi. Seperti Suciwati dan Munir, jalan sepi bermakna jalan hidup yang tak banyak dipilih keluarga lain di dunia. “Saya mengajak pengunjung lebih dekat dengan kehidupan personal mereka lewat kaca pembesar,” ujarnya.
Korban diskriminasi etnis
Tepat di seberangnya, ada banyak merchandise yang mengingatkan tentang aksi Kamisan, Munir Said Thalib dan sejumlah aktivis kemanusiaan yang raib hingga kini. Ada kaos, topi, gelas dan berderet foto aksi Kamisan yang berlangsung sejak tahun 2007 hingga kini di depan Istana Negara. “Ini adalah miniatur memorial, sebuah museum yang seharusnya mendapat persetujuan dan didukung oleh Pemerintah, seperti lubang buaya, misalnya,” katanya.
Namun, nyatanya tak pernah ada kehadiran pemerintah dalam museum orang hilang. Kehadiran pemerintah, bahkan belum ada untuk mendukung pengusutan tuntas berbagai kasus kemanusiaan di Indonesia. “Ini seperti ironi, sebuah tiruan museum tanpa kehadiran pemerintah,” katanya.
Pameran serupa telah berlangsung di Jepang dalam Koganecho Bazaar, Agustus 2014, dengan judul Memorial Kamis Payung Hitam.
Wanita yang lahir dari keturunan Tionghoa itu mengaku banyak terinsipirasi dengan aksi Kamisan. Setiap hari Kamis, aktivis tak kenal lelah dan sukarela berdiri di depan Istana Negara menyuarakan berbagai kekejian kemanusiaan yang belum berujung. Sedangkan kerusuhan 1998 semakin terlupakan tanpa pernah diketahui siapa pelakunya.
“Aksi ini menjawab banyak pertanyaan saya, ketika saya pernah merasakan diskriminasi karena ras di Jakarta di suatu saat yang lalu, tapi merasa terasing ketika berada di negara China. Ketika banyak yang ingin melupakan kerusuhan 1998, karena berbagai alasan,” katanya.
Semua pemikirannya tentang suara dan harapan yang tidak terdengar itu terwujud dalam lima karya seni instalasi yang dipamerkan di Omah Munir hingga 30 Desember nanti. Karya tersebut, antara lain, Memorial Kamis Payung Hitam, Jalan Sepi terdiri dari 47 foto mini kehidupan pribadi keluarga Munir, aksi tetarikal berjudul Semua Sadar Semua Diam yang berlangsung satu hari saja pada 9 Desember, media audio visual berjudul 00:02:07 dan area partisipatif meniup balon berjudul Saya Meminjam, Mereka Berbagi, Sebuah Bentuk Jawab.
Pameran pertama di Omah Munir
Pameran yang juga diikuti fotografer Antara, Fanny Octavianus di Omah Munir adalah pameran pertama di ruang publik, bekas rumah Munir Said Thalib, yang baru berusia satu tahun itu. Karya dua seniman itu telah melewati masa kurasi oleh Seno Gumira Ajidarma selama satu bulan terakhir.
Menurut Seno, kesenian fotografi dan instalasi milik dua seniman bisa bergabung menjadi satu di Omah Munir lantaran dilandasi semangat yang sama meski dalam bentuk yang berbeda. “Pameran ini adalah ruang tempat keduanya bertemu dan terhubung dengan satu gerakan. Menjadi hak penonton sepenuhnya untuk menilai,” katanya.
Yaya Sung berharap, pameran pertama di Omah Munir itu bisa berlanjut setiap tahun di tempat yang sama. Pameran itu bisa menjadi wadah ekspresi sekaligus pertukaran informasi antara aktivis dan seniman yang fokus pada isu kemanusiaan.
“Saya bukan aktivis yang bisa berteriak nyaring di lapangan. Saya hanya bisa menyuarakan aspirasi saya lewat seni. Pameran ini bisa mewadahi kami berbagi informasi dengan aktivis kemanusiaan lain,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar