Sejumlah warga
Dusun Piasak, Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, yang tinggal di bantaran Sungai
Kapuas, tepat di bagian hilir pabrik PT Indonesia Chemical Alumina (PT ICA)
mengaku sejak dua bulan terakhir terserang penyakit gatal-gatal.
Mereka menduga penyakit itu berasal dari air Sungai Kapuas yang rutin digunakan untuk mandi dan mencuci sedangkan konsumsi warga membeli air kemasan dalam galon.
"Sudah dua bulan inilah bang, kami di RT 12/05 ini kena gatal-gatal. Saya saja sekeluarga ada enam orang kena gatal-gatal ini, kasihan anak saya yang kecil ini kalau malam tidak bisa tidur garuk-garuk terus," kata Syamsudin, salah seorang warga, seperti dikutip dari Antara, Rabu (14/1).
Menurut Syamsudin, dia dan keluarga hampir dua kali seminggu berobat ke mantri kesehatan di Pulau Tayan. "Saya sekeluarga ini, rata-rata seminggu dua kali ke mantri Ilham, bang. Anak saya yang SMA itu, pernah saya kasih obat gatal sampai tiga butir, kalau tidak demikian besoknya tak bisa sekolah," papar dia.
Ditambahkan Syamsudin, penyakit gatal-gatal ini menyerang bagian tubuh warga yang sering terkena air.
Warga lain, Siman menambahkan, istrinya pun sempat terkena gatal-gatal kala menggunakan air Sungai Kapuas. Namun, sekarang ini dia sudah menggunakan air Sungai Piasak atau anak Sungai Kapuas.
"Sekarang kami menyedot air Sungai Piasak. Sebelumnya, kami menggunakan air Sungai Kapuas, istri saya pun terkena gatal-gatal," ungkap dia.
Tokoh setempat, Endang Supriyatna mengungkapkan, warga setempat menyedot air Sungai Kapuas ketika malam hari, karena listrik baru nyala ketika malam. Ia sempat mengaitkan limbah PT ICA yang tumpah malam hari.
"Kita tidak menuduh, kami kan nyedot air malam hari, karena listrik baru nyala malam. Nah, kalau kita cermati, limbah PT ICA itu meluap juga malam hari," ungkapnya.
Menurut Endang, sebelum perusahaan tersebut beroperasional tidak ada warga yang gatal-gatal. Penyebabnya bisa saja, ketika proses bongkar-muat ada bahan kimia yang tumpah ke Sungai Kapuas atau apa. "Jadi banyak faktor lah penyebab warga ini gatal-gatal. Tapi setelah PT ICA ini beroperasional, baru ada warga kena gatal-gatal ini," ujar Endang.
Ditambahkan, sudah lama warga setempat meminta sarana air bersih. Namun, hingga sekarang belum juga terealisasi. "Dari dulu dibicarakan untuk pengadaan sarana air bersih itu. Tapi sampai sekarang, mana ada realisasi dari perusahaan," ungkap dia.
Terpisah Kepala Desa Pedalaman, Sunarto menuturkan, kompensasi lima galon air untuk warga tetap diberikan hingga perusahaan mengeluarkan rilis terkait dengan kondisi air buangan limbah mereka.
"Selasa, ada perwakilan perusahaan ke kantor. Saya bisa membantu menjelaskan ke warga, terkait dengan hasil penelitian tim dari Untan. Tapi saya minta rilisnya, ada bahan saya untuk membuat pengumuman atau pemberitahuan kepada warga. Karena rilis itu sampai sekarang tidak ada, maka kompensasi air galon itu harus jalan dulu," ungkap dia.
Selain itu kata Narto, pihak perusahaan juga berencana mendatangkan tenaga kesehatan berupa dokter-dokter yang berada di beberapa Puskesmas, untuk pemeriksaan kesehatan warga.
"Saya mintanya dokter spesialis penyakit kulit dan bukan dokter umum. Kan warga banyak keluhan terkena penyakit kulit," beber Narto.
Mereka menduga penyakit itu berasal dari air Sungai Kapuas yang rutin digunakan untuk mandi dan mencuci sedangkan konsumsi warga membeli air kemasan dalam galon.
"Sudah dua bulan inilah bang, kami di RT 12/05 ini kena gatal-gatal. Saya saja sekeluarga ada enam orang kena gatal-gatal ini, kasihan anak saya yang kecil ini kalau malam tidak bisa tidur garuk-garuk terus," kata Syamsudin, salah seorang warga, seperti dikutip dari Antara, Rabu (14/1).
Menurut Syamsudin, dia dan keluarga hampir dua kali seminggu berobat ke mantri kesehatan di Pulau Tayan. "Saya sekeluarga ini, rata-rata seminggu dua kali ke mantri Ilham, bang. Anak saya yang SMA itu, pernah saya kasih obat gatal sampai tiga butir, kalau tidak demikian besoknya tak bisa sekolah," papar dia.
Ditambahkan Syamsudin, penyakit gatal-gatal ini menyerang bagian tubuh warga yang sering terkena air.
Warga lain, Siman menambahkan, istrinya pun sempat terkena gatal-gatal kala menggunakan air Sungai Kapuas. Namun, sekarang ini dia sudah menggunakan air Sungai Piasak atau anak Sungai Kapuas.
"Sekarang kami menyedot air Sungai Piasak. Sebelumnya, kami menggunakan air Sungai Kapuas, istri saya pun terkena gatal-gatal," ungkap dia.
Tokoh setempat, Endang Supriyatna mengungkapkan, warga setempat menyedot air Sungai Kapuas ketika malam hari, karena listrik baru nyala ketika malam. Ia sempat mengaitkan limbah PT ICA yang tumpah malam hari.
"Kita tidak menuduh, kami kan nyedot air malam hari, karena listrik baru nyala malam. Nah, kalau kita cermati, limbah PT ICA itu meluap juga malam hari," ungkapnya.
Menurut Endang, sebelum perusahaan tersebut beroperasional tidak ada warga yang gatal-gatal. Penyebabnya bisa saja, ketika proses bongkar-muat ada bahan kimia yang tumpah ke Sungai Kapuas atau apa. "Jadi banyak faktor lah penyebab warga ini gatal-gatal. Tapi setelah PT ICA ini beroperasional, baru ada warga kena gatal-gatal ini," ujar Endang.
Ditambahkan, sudah lama warga setempat meminta sarana air bersih. Namun, hingga sekarang belum juga terealisasi. "Dari dulu dibicarakan untuk pengadaan sarana air bersih itu. Tapi sampai sekarang, mana ada realisasi dari perusahaan," ungkap dia.
Terpisah Kepala Desa Pedalaman, Sunarto menuturkan, kompensasi lima galon air untuk warga tetap diberikan hingga perusahaan mengeluarkan rilis terkait dengan kondisi air buangan limbah mereka.
"Selasa, ada perwakilan perusahaan ke kantor. Saya bisa membantu menjelaskan ke warga, terkait dengan hasil penelitian tim dari Untan. Tapi saya minta rilisnya, ada bahan saya untuk membuat pengumuman atau pemberitahuan kepada warga. Karena rilis itu sampai sekarang tidak ada, maka kompensasi air galon itu harus jalan dulu," ungkap dia.
Selain itu kata Narto, pihak perusahaan juga berencana mendatangkan tenaga kesehatan berupa dokter-dokter yang berada di beberapa Puskesmas, untuk pemeriksaan kesehatan warga.
"Saya mintanya dokter spesialis penyakit kulit dan bukan dokter umum. Kan warga banyak keluhan terkena penyakit kulit," beber Narto.
Pendapat:
Jika dilihat dari isi berita, terlihat ketidaksiapan perusahaan untuk memikirkan dampak pembangunan dari pabrik tersebut. Mereka baru membuat fasilitas saat ada laporan negatif dari masyarakat setempat. Ini menjadi bukti bahwa kebanyakan perusahaan di indonesia hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperhatikan kondisi dari penduduk sekitar dengan berdirinya pabrik tersebut.
Pemerintah juga harus bertindak tegas dalam mengawasi keberadaan pabrik-pabrik yang ada di Indonesia. Selain pertimbangan dampak perekonomian bagi masyarakat setempat, perizinan pendirian dan sanitasi limbah juga harus diperhatikan dalam pengawasan operasional dari suatu pabrik. Perusahaan juga harus diwajibkan untuk menciptakan lingkungan hijau baik dari pabrik maupun daerah sekitarnya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dan alam tetap terjaga kelestariannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar